generasi-instagram

Generasi Instagram dan Sebuah Eksistensi Daring #2

Generasi Instagram, bukanlah sebuah kata yang mengandung konotasi negatif, melainkan sebuah gambaran saya terhadap generasi yang aktif dalam platform media sosial bernama Instagram. Setelah kita move-on dari era meledaknya dunia per-televisian, Internet chat, dan YouTube, kini kita berada di era Instagram, setidaknya di Indonesia saat ini. Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel saya sebelumnya Kesadaran Digital dari Seorang Millenial #1

The Medium is the Message

Marshall McLuhan – Understanding Media: The Extension of a Man (1964)

Hal ini mengingatkan saya pada seorang Professor yang memperdalam ilmu dalam hal Media Theory, Marshall McLuhan. Pertama kali mengenal beliau ketika membaca buku Understanding Media: The Extension of a Man. Buku yang cukup bagus dan masih relevan hingga saat ini. Kemudian baru minggu kemarin menyelesaikan buku Marshall McLuhan yang merupakan sebuah best seller dari McLuhan, The Medium is the Massage: An Inventory of Effects sebuah buku yang rilis pada tahun 1967 yang menurut saya masih relevan terhadap perkembangan media di Internet yang hadir beberapa dekade setelahnya. Bahkan cukup menjelaskan tentang Generasi Instagram dalam penafsiran saya.


Marshall McLuhan – Wikipedia

McLuhan, mendefinisikan “mediums” sebagai “extensions of man,” dia menganggap semua-nya dari tv hingga bohlam lampu (dia menganggap bohlam adalah content-less medium) adalah sebuah medium atau media. Dia juga percaya bahwa media tersebut memiliki efek yang jelas namun diabaikan untuk mendukung konten dalam media tersebut. Sebagai contoh, masyarakat lebih sadar kan pengaruh dari iklan atau acara televisi dibandingkan efek dari kehadiran televisi itu sendiri terhadap masyarakat. 


..societies have always been shaped more by the nature of the media with which men communicate than by the content of the communication. All technology has the property of the Midas touch; whenever a society develops an extension of itself, all other functions of that society tend to be transmuted to accommodate that new form; once any new technology penetrates a society, it saturates every institution of that society.

Marshall McLuhan

Generasi 90-an

generasi-90an
Generasi 90an – http://marketeers.com/mengapa-generasi-90an-disebut-the-golden-era/

Saat menulis artikel ini, tahun ini saya berumur 24 tahun. Seorang anak yang lahir tahun 90-an, yang dipuja-puja oleh anak 90-an sebagai the Golden Age. Bukan tanpa makna, kita merupakan generasi yang pernah hidup di dunia tanpa smartphone, media sosial, dan bahkan tanpa Internet. Sebuah realita yang mungkin akan sulit dibayangkan oleh mereka yang disebut kids jaman now.

Disaat saya masih sekolah SD, Internet yang saya bayangkan dulu bukanlah seperti Internet yang saya bayangkan sekarang. Bagi saya waktu itu, Internet hanyalah tempat untuk chatting melalui MIRC, dan tempat untuk mencari cheat dari GTA San Andreas untuk Playstation 2. Iya, hanya itu. Bahkan di awal 2000-an saja, Internet pun bukan sesuatu yang bisa dijangkau oleh masyarakat luas di Indonesia.

Pengenalan Internet

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, saya tinggal di lingkungan seorang pendidik namun dengan dua karakter yang berbeda. Papa saya adalah seorang tenaga pendidik yang mau terbuka dengan teknologi, dan mama saya yang kurang paham dan kurang terbuka terhadap teknologi. Tapi, mereka berdua memiliki kesamaan, ketika saya kecil, saya di-ingatkan agar berhati-hati dengan Internet, mereka bilang banyak hal berbahaya di Internet. Hal ini cukup membuat frustasi karena membatasi waktu saya untuk menjelajahi lebih dalam tentang Internet melalui koneksi dial-up telepon,  0808989999, Telkomnet-Instan, koneksi Internet rumah satu-satunya yang tersedia dengan kecepatan maksimum 56 kbps. Yang sekarang saya pahami, mungkin alasan mereka adalah, tidak harus jadi yang terdepan dalam hal teknologi, paling tidak, saya tidak menjadi ketinggalan teknologi.

Internet ketika saya SMA

Semakin saya dewasa, kritik dan saran dari orang tua saya berubah 180 derajat. Dari yang melarang saya untuk menjelajahi Internet lebih jauh, menjadi pahamilah Internet karena Internet lebih luas daripada buku. 

Internet adalah sumber Informasi, pelajarilah, dan jadilah bagian dari Global Citizen.

Suprihadi Saputro

Yang saya ketahui mindset papa saya berubah waktu itu, karena beliau sedang melanjutkan studi S3 dan berfokus pada International Education sembari mendirikan T2EDI (Teacher Training & Education Development Institute) yang berkaitan erat dengan CIE (Cambridge International Exam)

Keluarga besar, guru, kerabat, dan semua orang mengharapkan generasi saya untuk semakin cerdas, dan kreatif. Tentu saja, semua karakter tersebut memang sudah seharusnya kita kejar. Namun tidak seperti itu mereka me-representasikan-nya. Kita diharuskan untuk terus berkembang sehingga memiliki kualifikasi cukup tinggi, untuk menghindari hiruk pikuk ramai-nya kompetisi dibawah kita. Hingga akhirnya, kompetisi tersebut naik keatas, kata-kata kreatif dan cerdas itu pun menguap dan kehilangan makna-nya.

The Irony

Kosmetik – http://thebeautybite.com/makeup-for-ugly-women-secret-makeup-cosmetic-tips-to-make-ugly-women-beautiful.html

Kenyataanya, generasi kita dibentuk dengan pemahaman bahwa image yang kita tampilkan, lebih penting dibandingkan siapa kita sesungguhnya. Ini bukanlah sebuah pemikiran jahat, tapi sebuah opini saya realistis dan saya rasakan. 

Apa yang terjadi?

Saya tidak merasa seperti manusia yang ”alami”, sebagai gantinya, semuanya terasa seperti daftar barang belanjaan. Kamu mengambil kelas atau jurusan kuliah yang lebih mudah, untuk menunjukkan bahwa kamu orang yang kompeten. Kamu berolahraga untuk terlihat lebih kompetitif. Kamu pergi ke tempat yang jarang dijamah orang, untuk menunjukkan dirimu yang tidak duniawi dan egois, demi sebuah topik pembicaraan yang menunjukkan kelebihanmu dan pembeda utama antara dirimu dengan yang lainnya. Hidup, tidak lebih dari sebuah obsesi terhadap kosmetik, keharusan yang dihasilkan oleh kompleksitas kehidupan modern.

Instagram Hadir, dan juga Generasi Instagram

Instagram

Kemudian, hadirlah Instagram setelah bertahun-tahun dikondisikan bahwa kosmetik itu indah, jika obsesi universal adalah sebuah bom, maka Instagram adalah pemicu-nya. Lebih dari itu, Instagram adalah sebuah refleksi dari kenyataan pahit dari generasi kita yang kita telan bertahun-tahun bahwa, gambaran dirimu lebih penting daripada karakter asli-mu. Dan lahirlah Generasi Instagram

Instagram – https://fejmowo.pl/produkt/pakiet-instagram-premium/

Instagram sangatlah cerdas, dibuat dalam dunia yang terobsesi akan kosmetik. Instagram penuh dengan meme, kebenaran sederhana yang di-ilustrasikan sehingga mudah dicerna, dan sentuhan (baca: tidak otentik) foto seseorang, masing-masing merupakan sebuah pengingat bahwa kita hidup dimana komunitas dan juga posisi ketua OSIS lebih berharga dalam CV kita dibandingkan di kehidupan nyata, dan “Fake it ’til you make it” sesungguhnya adalah “Fake it ’til you die.”

Sebuah Opsi

Menurut Marshall McLuhan, perubahan dalam pesan yang dikirim dalam sebuah media hanyalah setetes air didalam ember. Sebuah solusi utama dalam bermain smartphone sambil menyetir, tentu, bukanlah tentang isi chat-nya, tetapi media itu sendiri. Begitu juga dengan Instagram beserta Generasi Instagram-nya

Yang jelas, Instagram sebenarnya bukanlah pihak yang bisa kita minta tanggung jawabnya atas Generasi Instagram. Generasi Instagram hanyalah sebuah pemicu dari bom yang sudah ada sejak dulu kala. Tapi yang jelas Instagram adalah pemicu utama. Berdasarkan hal itu, meninggalkan sebuah platform/media akanlah lebih mudah dibandingkan restrukturisasi masyarakat secara keseluruhan, senjata utama melawan degenerasi kelas kosmetik Generasi Instagram.

ufabet